Banyak hal
ternyata terjadi di luar kontrol orang tua dan sekolah, saat anak mereka
terjebak dalam tradisi tawuran. Hal ini menjadi tradisi, karena tiap tahun
tawuran terjadi, sedang orang tua dan sekolah tampaknya kewalahan mengatasinya.
Seakan menjadi benang kusut yang semakin sulit diurai akar permasalahannya.
Ada banyak
faktor yang membuat tradisi tawuran sulit diatasi. Mulai dari budaya
senior-yunior, kesibukan orang tua, program ekstrakurikuler yang tidak menarik
di sekolah, sampai menipisnya budaya "fair game" yang dimiliki
anak-anak kita. Lalu kenapa anak-anak kita bisa terjebak dalam tradisi tawuran
ini?, suatu kompetisi fisik tanpa wasit dan aturan.
A. Sekolah memiliki peran mencegah budaya tawuran.
Dalam
perkembangan peradapan manusia, kompetisi yang membuat manusia tumbuh dan
berkembang. Dari jaman batu, tradisi perang antar suku sampai abad modern saat
ini, manusia belajar merubah peperangan menjadi kompetisi yang
"fair", seperti dalam olahraga, atau penghargaan atas penemuan
ilmiah. Jika anak kita beradu fisik untuk menyelesaikan sebuah masalah atau
suatu kompetisi antar sekolah, maka anak-anak kita telah kembali ke zaman
primitif.
Disini harus
ada langkah terencana dari orang tua dan sekolah serta para siswa merubah
tradisi tawuran ini. Mereka harus bekerja sama menciptakan "fair
game" pada anak-anak kita. Membuat budaya positif dalam menyelesaikan
masalah diantara mereka, sekaligus membuat kompetisi antar sekolah yang sehat.
Sekolah dan
orang tua harus sudah membuat wadah ekstrakurikuler yang menarik minat para
siswa. Seperti futsal, atau olahraga populer lainnya, kemudian ciptakan
kompetisi yang sehat. Kehadiran para siswa di kegiatan ekstrakurikuler ini,
akan menghilangkan kegiatan membolos, jalan-jalan di tempat hiburan,
playstation, warnet, saat mereka pulang sekolah. Karena kegiatan di luar
sekolah inilah bisa memicu kompetisi fisik tanpa wasit dan aturan, yaitu
tawuran.
B. Perlu kerjasama orang tua dan sekolah dalam mengatasi tawuran pelajar.
Sekolah dan
orang tua juga harus mempersempit waktu yang ada antara pulang sekolah dan
kehadiran anak di rumah. Anak tidak boleh di luar pengawasan orang tua maupun
sekolah untuk jangka waktu yang lama. Membolos sering menjadi awal dari
hilangnya pengawasan sekolah atas anak didiknya. Saat anak tidak
"betah" di sekolah, mereka akan mengisi jalan raya dengan kegiatan
yang negatif.
Bus
sekolah mungkin sedikit membantu mempersempit waktu anak di luar pengawasan
sekolah maupun orang tua. Namun tetap perlu langkah koordinatif antara sekolah
dan orang tua mengatur waktu luang anak untuk kegiatan yang positif. Kita tetap
tidak bisa membiarkan anak-anak kita tumbuh dalam bentrokan fisik tanpa wasit
dan aturan.
Sudah saatnya
anak muda menyibukan diri dengan kegiatan yang positif. Menyiapkan diri untuk
masa depan yang lebih baik, dengan belajar dan selal hadir dalam kegiatan
sekolah. Mengesampingkan ide tawuran, dan mengutamakan penyelesaian masalah
yang konstruktif.