Menurut professor Robert Emery, psikolog dan penulis buku "The truth about Children and divorce", seberapa keras orang tua melindungi anak dari trauma saat perceraian di mulai tetap saja ada suasana kecemasan, berdosa dan ketidakpercayaan. Apa yang dilakukan orang tua memliki pengaruh pada anak dalam melihat diri dan kemampuan menyelesaikan konflik.
Saat hak asuh anak mulai dibahas dalam perceraian akan melalui masa yang suram dalam sejarah hidup anak. Seberapa keras orang tua melindungi anak, mereka tetap menjadi "obyek" untuk diperebutkan, bukannya kebutuhan mental mereka yang harus dipenuhi terlebih dahulu.
Para psikolog memang melihat sosok ibu sebagai pihak yang tepat dalam mengasuh anak. Sekaligus memiliki hak asuh atas anak dalam perceraian, kecuali ibu tersebut yang sebenarnya melakukan kesalahan, maka hak asuh atas anak akan beralih ke pihak ayah. Karena bagaimanapun ibu yang memiliki waktu terlama dalam mengasuh anak, sejak dari dalam kandungan sehingga ibulah yang memiliki jiwa pengasuh.
Namun banyak penelitian menemukan sebuah "joint custody" atau hak asuh bersama adalah yang terbaik. Karena ayah dan ibu memiliki peran masing-masing, dan posisi masing-masing tidaklah tergantikan oleh yang lain. Anak akan selalu memerlukan sosok ayah dan ibu dalam kehidupannya hingga dewasa. Sisi kejiwaan pada anak sering terabaikan oleh perebutan hak asuh anak dalam perceraian.
Saat masa sulit ini orang tua hendaknya membiarkan anak memiliki waktu mereka dengan kedua orang tuanya, meskipun di tempat yang berbeda. Anak hendaknya jangan dijadikan alasan atau apapun dilibatkan saat perceraian berjalan. Biarkan anak hidup di dunia mereka, perceraian adalah dunia orang tua dan jangan libatkan anak di dalamnya. Karena bagaimanapun perceraian merugikan anak.